Jakarta, 16 Juni 2025 - Di tengah kemajuan zaman dan semangat reformasi yang terus digaungkan, Indonesia masih saja dihantui oleh satu penyakit lama yang belum kunjung sembuh: mentalitas korup. Ironisnya, penyakit ini bukan menjangkit rakyat kecil, melainkan mereka yang duduk di kursi kekuasaan. Yang lebih menyedihkan, perilaku ini seolah diwariskan dan dirawat dengan rapi melalui sistem yang penuh celah.
Tulisan ini bukan sekadar kritik, melainkan ajakan untuk refleksi. Sebuah motivasi—jika memang masih ada ruang di hati untuk berubah. Sebuah edukasi—kalau-kalau masih ada niat untuk benar-benar mengabdi, bukan sekadar menikmati fasilitas.
1. Pemimpin yang Baik Bukanlah yang Pandai Menyembunyikan Keburukan
Dalam banyak kesempatan, kita mendengar para pejabat bicara tentang pembangunan, akuntabilitas, dan kesejahteraan rakyat. Namun di balik pidato-pidato manis itu, masyarakat kerap menemukan fakta yang jauh berbeda: proyek mangkrak, pelayanan publik semrawut, dan penggunaan anggaran yang tidak transparan.
Di sinilah pentingnya integritas. Seorang pemimpin bukan hanya dituntut cerdas, tetapi juga jujur. Sayangnya, ada yang justru bangga ketika bisa "menyiasati" aturan demi keuntungan pribadi. Mereka merasa berhasil, padahal sesungguhnya sedang membangun reputasi busuk yang akan dikenang generasi selanjutnya.
2. Kekuasaan Itu Ujian, Bukan Hadiah
Banyak yang mengira kekuasaan adalah puncak karier. Padahal, ia adalah titik awal dari ujian sejati: bagaimana seorang pemimpin mampu menjaga kepercayaan, menjalankan amanah, dan tidak tergelincir dalam kubangan kepentingan.
Dalam praktiknya, tidak sedikit pemimpin yang tergoda untuk menggunakan jabatan sebagai alat akumulasi kekayaan. Mereka lupa, setiap keputusan yang mereka buat berimplikasi langsung terhadap kehidupan orang banyak. Satu tanda tangan bisa menentukan nasib petani, buruh, nelayan, hingga masa depan anak-anak sekolah.
Menganggap jabatan sebagai "lahan basah" sama saja mengkhianati prinsip dasar demokrasi. Rakyat memilih, bukan untuk dimanfaatkan; rakyat percaya, bukan untuk dikhianati.
3. Edukasi Politik Seharusnya Dimulai dari Elite
Sering kali rakyat dituduh apatis, tidak melek politik, atau mudah terprovokasi. Tapi mari jujur: seberapa sering para pemimpin memberikan teladan? Edukasi politik tidak akan efektif jika yang di atas justru mempertontonkan drama transaksional, manipulasi birokrasi, dan politik balas budi.
Jika rakyat menyaksikan praktik-praktik tersebut tiap hari, jangan salahkan mereka jika mulai muak. Ketika kepercayaan publik luntur, yang lahir bukan sekadar apatisme, tetapi juga potensi perlawanan sosial. Maka jangan heran jika kritik, protes, bahkan satire politik tumbuh subur di berbagai media. Itu bukan sekadar ekspresi—itu bentuk koreksi.
4. Berhenti Membangun Citra, Mulailah Membangun Kinerja
Satu hal yang menonjol dari para pemimpin zaman kini adalah gairah besar membangun citra: dari unggahan sosial media, baliho besar di jalan-jalan, hingga acara-acara seremonial yang kerap kosong makna. Tak jarang, dana publik dihabiskan hanya untuk membayar konsultan pencitraan—alih-alih digunakan untuk program yang menyentuh masyarakat langsung.
Padahal rakyat lebih membutuhkan tindakan nyata daripada slogan manis. Mereka ingin jalan yang bisa dilalui dengan aman, layanan kesehatan yang mudah diakses, dan pendidikan yang berkualitas. Citra baik akan tumbuh secara alami jika kinerja nyata bisa dirasakan.
5. Tak Ada Kekuasaan yang Kekal
Sejarah telah membuktikan, tak ada rezim yang abadi. Kekuasaan sehebat apa pun pasti akan berganti. Namun warisan moral dan jejak rekam seorang pemimpin akan terus hidup. Ia bisa dikenang sebagai pahlawan, atau dicatat sebagai bagian dari persoalan bangsa.
Bagi para pemimpin yang masih merasa kebal hukum atau merasa aman dalam jaringan kekuasaan, sebaiknya mulai belajar dari banyak kasus sebelumnya. Ketika rakyat mulai bersuara, ketika media mengungkap fakta, dan ketika hukum mulai bertindak, tak ada tempat untuk berlindung kecuali pada hati nurani sendiri.
Penutup: Waktunya Memilih Jalan Lurus
Tulisan ini bukan bertujuan menyerang pribadi siapa pun. Ia adalah cermin—yang siapa saja boleh berkaca. Apakah kita ingin dikenang sebagai pemimpin yang memberi cahaya, atau justru sebagai pelita yang padam karena dijilat api kerakusan?
Mari mulai dari sekarang, dari jabatan terkecil, dari keputusan paling sederhana. Jika tak mampu bersih total, setidaknya jangan kotor sengaja. Karena bangsa ini terlalu besar untuk terus dikorbankan oleh ego dan syahwat kekuasaan segelintir orang.
(Cahaya)