LSM Garda Tipikor Indonesia (GTI) Kabupaten Gianyar mempertanyakan sikap BPN Klungkung terkait adanya 25 warga dari empat desa di Kabupaten Klungkung, Bali. Karena 25 warga ini memiliki tanah dengan luas total 53 hektare dan telah dipakai Kawasan Pusat Kebudayaan Bali (PKB) oleh Pemerintah Provinsi Bali. Namun, mereka tanpa menerima ganti rugi
Ketua LSM Garda Tipikor Indonesia (GTI) Kabupaten Gianyar Pande Mangku Rata mengatakan pihaknya telah menerima laporan dari 25 warga tersebut ke GTI. Sesuai laporan yang diperkuat dengan bukti-
bukti sporadik bahwa lahan 53 hektare itu berada di kawasan eks Galian C, yang dulunya merupakan areal pertanian. Namun, lahan ini terkubur material lahar letusan Gunung Agung pada tahun 1963. ‘’Kawasan
tersebut kini ditetapkan sebagai lokasi PKB oleh Pemerintah Provinsi Bali melalui SK Gubernur Bali Nomor: 530/01-A/HK/2020,’’ ujar Pande Mangku, kemarin.
Dijelaskan, lahan seluas 334 hektare di eks Galian C itu kini telah ditata untuk kawasan PKB. Namun, 25 warga memiliki tanah dengan total luas 53,65 hektare belum menerima uang ganti rugi. Tanah tersebut berada di Desa Gunaksa dan Desa Sampalan Kelod, Kecamatan Dawan, serta Desa Tangkas dan Desa Jumpai, Kecamatan Klungkung. Meskipun lahan itu belum bersertifikat, para pemilik tanah menyatakan memiliki bukti yang kuat. Mulai dari dokumen pembayaran pajak IPEDA dan PBB sejak 1986 hingga 2020, surat sporadik yang disahkan kepala desa, hingga
dokumen permintaan data yang diminta BPN untuk proses ganti rugi.
Dalam prosesnya, BPN Klungkung tidak menerbitkan rekomendasi pembayaran ganti rugi tanah karena menganggap bukti yang diajukan tidak memenuhi syarat legalitas formal. Hal ini membuat para pemilik tanah merasa tidak mendapatkan keadilan. 25 pemlik tanah ini sempat
membawa persoalan ini ke Pengadilan Negeri (PN) Semarapura. Namun, pada tanggal 16 Mei 2023, gugatan mereka ditolak dengan alasan tidak mampu menunjukkan batas-batas lahan secara jelas.
Pande Mengaku berpendapat, jika hal itu dijadikan alasan penolakan, maka logika dan kewarasan hakimnya layak dipertanyakan. Apakah ada orang atau ahli hebat sekalipun yang bisa menunjukkan batas – batas tanah di tanah yang telah tertimbun lahar letusan Gunung Agung tahun 1963. ‘’Padahal tanah 53 haktare ini ada peta bloknya, yang artinya tanayh ini benar-benar ada. Namun belakangan tanah ini diuruk untuk kepentingan proyek penataan PKB. Ini sangat aneh,’’ ujarnya.
Oleh karena itu, Pande Mangku mempertanyakan kepada BPN
Klungkung dan pihak terkait lainnya, siapa – siapa saja pihak yang telah menerima uang Rp142 miliar untuk ganti rugi tanah 53 haktera yang tiak dibayar oleh tim pembebasan lahan Kawasan PKB itu? ‘’Hal ini harus dijelaskan agar tidak muncul dugaan adanya pelanggaran hukum apa lagi KKN,” tegasnya.
Pande Mangku minta ketegasan kepada Kepala Kantor BPN Kabupaten Klungkung untuk memberikan klarifikasi atas keberadaan tanah 53
hektare itu. Pertanyaannya adalah siapa yang saat ini secara legal
memiliki lahan tersebut? Siapa pula yang telah menerima dana ganti
rugi atas lahan itu, jika bukan 25 pemilik sebagaimana tercantum dalam peta blok kawasan galian C tersebut?.
Menurutnya, klarifikasi ini penting untuk mencegah terjadinya
penyalahgunaan kewenangan dan untuk memastikan tidak ada pihak yang dirugikan secara hukum maupun sosial atas proyek mercuar PKB ini.
(Cahaya)